Sisi Lain Sebuah Perjalanan Akademik (1)

Akhir bulan maret tahun 2010 dulu, saya diwisuda bersama dengan rekan-rekan saya yang lainnya sebagai Doktor di sebuah universitas negeri di Jepang. Kalau dihitung saya yang kelahiran tahun 1981, berarti saya meraih gelar Doktor pada umur 29 tahun. Ya mungkin umur yang cukup fantastis bagi sebagian orang bila diukur dengan standar Indonesia, padahal di Jepang sendiri yang lebih muda dari saya banyak.
Pulang dari Jepang, tawaran untuk mengajar banyak…bahkan tawaran untuk tetap stay di Jepang dan mengadakan riset serta mengajar di sana pun ada. Tetapi, saya putuskan untuk pulang ke Indonesia. Alhamdulillah, setelah pulang ke Indonesia pun dapat tempat kerja yang nyaman dan gaji yang lumayan.
Bila orang-orang melihat kondisi saya yang sekarang mungkin akan bergumam, “Wah enak yah…dari lulus S1 ndak pernah kerja…sekolah terus…umur 29 sudah Doktor, pulang-pulang kerjaan ada, gaji lumayan…beruntung amat lu brow…”
Eits…itu kalo orang yang melihat hasil akhirnya sekarang dan nggak melihat bagaimana perjalanan waktu yang sudah saya jalani. Yah, mungkin bisa dibilang orang yang tidak melihat “sisi lain perjalanan akademik” saya akan mudah berpikir seperti itu.
Sebenarnya cerita tentang “sisi lain perjalanan akademik” saya sering saya ceritakan ke adik-adik kelas saya di sebuah SMA Negeri di Salatiga. Tak jarang pula saya ceritakan ke mahasiswa-mahasiswa saya…sekedar untuk memberi mereka semangat untuk terus berjuang.
Ceritanya saya mulai saja…
Saya lahir bukan di keluarga yang memang care secara khusus dalam masalah pendidikan. Benar-benar keluarga biasa…kedua orang tua saya pun setahu saya hanya pernah mengeyam pendidikan sekolah menengah pertama saja. Tapi dari keduanya, terutama adalah ayah saya yang suka membawakan buku-buku atau majalah-majalah dari pasar tempat beliau bekerja untuk saya baca. Dari situlah (mungkin) minat baca saya berawal…bahkan hingga memasuki SD, saya lebih suka membaca buku-buku pelajaran yang satu level di atas saya. Misal saya kelas 4 SD, maka saya sering baca buku-buku kelas 5 SD. Dengan begitu saya sering tahu hal-hal yang teman-teman sekelas saya belum tahu… #bisa nyombong dikit hehehe
Ketika kecil, selain minat baca, rasa ingin tahu saya sangat besar (katanya lho…) cerita yang sering saya dengar dari ortu saya adalah; Suatu ketika ortu saya membelikan sebuah mainan helikopter yang bisa bergerak-gerak karena digerakkan motor berbatere (sebuah mainan yang sangat mahal bagi kedua ortu saya yang hanya pedagang pasar). Tapi mainan itu hanya bertahan 3 hari, karena kemudian saya ambil obeng dan saya bongkar. Kata ibu saya ketika ditanya kenapa dibongkar, jawaban saya: “Pengin ngerti njerone (pengin ngerti dalemnya)” … hehehe
Memasuki masa-masa SMA, kondisinya masih tidak berubah (secara ekonomi). Bahkan mungkin satu-satunya siswa SMA Negeri tersebut yang pernah mengajukan permohonan penangguhan pembayaran SPP ke kepala sekolah adalah saya. Hanya karena sudah saatnya ujian akhir tetapi ortu saya belum bisa membayar SPP sekolah.
Bagi saya, bekerja jualan di pasar juga pernah menjadi pengalaman hidup saya. Ketika itu masa-masa Ramadhan, dan ortu bisa mencarikan (kulakan) untuk saya buah-buahan. Alhamdulillah..laris manis. Tapi meskipun begitu, tidak secara otomatis keuntungan saya ambil semua. Saya hanya mendapatkan sepotong baju koko warna hijau muda untuk saya pakai di hari lebaran.
Ketika memasuki kelas 3 SMA, ada keinginan besar saya untuk kuliah karena saya paham bahwa saya tidak berbakat berdagang…tapi saya suka sekali baca buku dan ingin menjadikan itu pekerjaan. Tetapi, ibu saya menentang rencana itu dengan alasan “Duit e sopo? (uangnya siapa yang mau dipake kuliah?)”. Penyemangat hanyalah ayah saya yang pernah berkata: “Wis kowe kuliah o…mengko urusan duit ben wong tua mu sing mikir (dah kamu kuliah saja, nanti masalah duit biar ortumu yang mikir)…”
Akhirnya keinginan saya untuk kuliah muncul lagi hingga akhirnya saya dengan semangat mempersiapkan diri untuk mengikuti UMPTN (jaman itu masih UMPTN namanya).
Ketika memasuki akhir masa studi di SMA, banyak sekali berdatangan di SMA-SMA berkas-berkas PMDK (sistem penerimaan tanpa tes ke suatu universitas). Termasuk ke sekolah saya. Dari berbagai formulir itu saya tertarik pada satu formulir: PPKB Universitas Indonesia (PMDK versi UI). Tetapi, masih ada ganjalan di hati saya…bagaimana nanti biayanya? Saya hanya bisa berdoa dan yakin bahwa bila Allah memberikan saya jalan untuk kuliah, ke depannya akan ada jalan keluar masalah itu…mosok Allah ngasih jalan buntu? #gitu pikir saya
Ternyata hal tersebut juga dipikirkan oleh sebagian guru-guru SMA saya. Ketika saya mengajukan diri untuk mengisi formulir tersebut mereka menganggapi: “Kalo sampe keterima kamu sudah siap duitnya? Nggak boleh mundur lho ya…”
Ya begitulah, kondisi ekonomi yang mepet adalah salah satu faktor besar yang menghantui cita-cita kuliah saya. Tetapi, (ya karena saya yakin bahwa Allah kalau memberi jalan nggak mungkin jalan buntu…) maka saya nekat mengisi form tersebut dan mengirimkannya ke Jakarta.
Setelah itu, pikiran saya hanya dibebani tentang biaya-biaya yang saya harus bayarkan di Jakarta nanti. Benar juga…Duit siapa?
Qadarallah, pada suatu hari saya bertemu dengan teman lama dan dia memberitahu saya tentang lowongan beasiswa bagi calon mahasiswa dari golongan tidak mampu yang ingin kuliah melalui jalur UMPTN. Pikir saya, laaah paling UI juga nggak nerima kok, mending lewat UMPTN aja pake beasiswa ini…pikir saya. Akhirnya saya mengikuti jejak teman saya itu mengirimkan berkas aplikasi.
Waktu berlalu, dan saya masih dengan semangat mencoba belajar sendiri soal-soal UMPTN (ndak ada duit buat ikutan bimbingan belajar soalnya…itu aja kumpulan soal-soal UMPTN nya dapet beli murah di kios buku loak). Tiba-tiba, teman saya datang ke rumah dan memberitahu bahwa saya harus datang ke SMA secepatnya. Bingung..ada apa ini? Kan sudah lulus…akhirnya di hari berikutnya saya datang ke kantor BP SMA.
Bapak Ibu guru di kantor BP semuanya tersenyum-senyum melihat saya datang hari itu…dan semuanya menyelamati saya. Ada apa ini? Ternyata dari sekian belas formulir yang dikirimkan ke UI, ada 3 orang yang diterima dan salah satunya adalah saya. Mereka mengatakan kaget…padahal berkas saya bukanlah berkas yang diunggulkan untuk diterima di UI karena ada beberapa persyaratan nilai yang tidak sesuai dengan keinginan UI, tetapi qadarallah…saya di terima di UI.
Rasa gembira dan bingung jadi satu…gembira karena saya telah melangkahkan sebelah kaki saya untuk menggapai cita-cita, tetapi kaki sebelah saya masih tertinggal. “Lhah…nanti mbayarnya gimana yah?”…
Tahu tidak teman-teman? Selang 3 hari setelah pengumuman PPKB UI itu, saya menerima sepucuk surat dari panitia beasiswa calon mahasiswa tidak mampu yang menyatakan saya diterima sebagai calon mahasiswa yang bisa dibiayai perkuliahannya ASAL mengikuti UMPTN. Nah lo…galau bukan? PPKB diambil saya pake duit siapa? Ambil yang beasiswa, PPKB saya tinggal akan berakibat blacklist UI terhadap sekolah saya.
Tapi apa yang terjadi? Saya memajang kedua surat tersebut…ya…surat PPKB dan surat beasiswa itu…ternyata yang tandatangan adalah orang yang sama..yaitu Rektor UI waktu itu bapak Asman Budi Santosa. Terbetik dalam pikiran saya, “Kalo pak rektor tandatangan surat penerimaan PPKB saya dan surat beasiswa saya, berarti beliau tahu saya orang yang sama donk…! Berarti bisa dialihkan donk beasiswanya…kan yang penting keterima…”
Pikiran simpel bukan? Dan saya yang berpikir seperti ini tidak pernah tahu dan membayangkan berapa banyak surat yang ditandatangani oleh seorang rektor UI sehari-harinya…mana sempet dia melihat nama saya yah, harusnya!
Tapi kesamaan nama inilah yang membuat saya nekat berangkat ke Depok waktu itu… “Saya ingin menuntut hak saya untuk kuliah dengan beasiswa”, itu saja.
Orangtua pun akhirnya luluh…mereka menggadaikan satu-satunya lapak jualan di pasar untuk memberi saya biaya untuk ke Jakarta dan untuk membayar biaya-biaya registrasi di UI. Tapi saya sampaikan, “Saya cuma mau nuntut hak saya atas beasiswa ini…wong yang tanda tangan orang yang sama kok…berarti beliau tahu keduanya untuk orang yang sama..lalu apa susahnya mengalihkan program beasiswa tersebut? Kalau sampai ini tidak tembus, maka saya akan pulang walaupun tidak jadi kuliah sekalipun. Uang ini tidak akan saya pakai…”
Akhirnya perjalanan saya ke UI Depok pun di mulai…
(to be continued)
ditulis oleh Andy Bangkit, M.A.,Ph.D.