Sisi Lain Sebuah Perjalanan Akademik (3)

Tahun 1999 ketika saya masuk UI, kondisi UI sedang pembenahan sehingga salah satu efeknya adalah munculnya dana DPKP yang selangit jumlahnya itu. Akan tetapi, rupanya program penyedotan dana ini tidak dibarengi sistem yang dapat memberikan solusi ketika terjadi stagnasi. Misalnya ketika ada mahasiswa yang tidak mampu, maka semua seleksi boleh tidaknya mahasiswa tersebut mendapat keringanan SPP dan lain-lainnya masih tersentral di rektorat.
Sistem yang masih dalam masa transisi seperti ini yang saya hadapi. Ketika bu Farida membolehkan saya tidak membayar sepeserpun uang registrasi PPKB di UI, beliau tetap menuliskan “yang bersangkutan telah membayar” dalam nota saya. Cuma memang dana yang digunakan itu langsung masuk ke rekening universitas–begitu penjelasan beliau. Sehingga saya tercatat sebagai mahasiswa yang mbayar penuh tetapi sebenarnya ndak perlu membayar, konsekuensi atas sistem yang “aneh” ini, setiap semester saya harus menghadap bu Farida untuk memperoleh tandatangan beliau di nota tagihan saya yang akan mengenolkan tagihan saya. Tapi ingat, di nota tetap tertulis saya membayar penuh. Buat saya sih, peduli amat yang penting ndak mbayar dan saya bisa sekolah.
Akan tetapi, apa yang saya khawatirkan terjadi. Saya berpikir bahwa sistem seperti ini akan mulus bila urusan saya ini selalu dihandle oleh bu Farida karena beliau sudah paham duduk masalahnya. Tetapi, memasuki semester genap 2000, sistem seleksi pengajuan keringanan (di mana saya diikutkan dalam sistem tersebut) digeser wewenangnya ke Fakultas. Nah lo….orang-orang Fakultas tidak tahu juntrung masalahnya nih…
Dan hal itu terjadi…ketika saya mengurus pembayaran seperti biasa (minta di nol kan) tetapi saya ke Fakultas (karena wewenang telah dipindahkan) dari Fakultas hanya melihat slip pembayaran saya yang penuh selama ini.
“Lha ini kamu bisa mbayar gitu…mosok minta keringanan SPP?”, bentak salah seorang staf pembantu Dekan FS UI waktu itu sambil menyodorkan nota saya.
“Saya tidak meminta keringanan pak…tapi uang SPP saya ditransfer langsung ke rekening universitas. Saya hanya minta peng-nol an tagihan saya di situ…”, jawabku.
“Tidak ada sistem kayak gitu…ngawur aja kamu…”, tukasnya
“Lha kalo ndak ada memangnya selama ini saya kuliah gimana pak? Silahkan di cek pak ke Rektorat tentang ini…”
“Ah, ndak perlu…”
“Baik kalau begitu biar saya saja ya pak yang ke rektorat…”
Akhirnya saya berangkat ke rektorat dengan tujuan mengadukan masalah ini ke bu Farida yang jelas tahu juntrung masalahnya. Akhirnya sesampainya di ruangan bu Farida,
“Lho Andy, kamu ngapain ke sini?”, sambut beliau.
Akhirnya saya ceritakan duduk masalahnya dan beliau langsung mengambil telepon dan berbicara,
“mahasiswa Sastra yang bernama Andy datang nih ke saya…dia ini tanggungan saya…nol kan saja tagihannya. Bagaimana sih, kok jadi repot begitu…dan ini sudah tanggal berapa? …. …”
Panjang sekali perkataan bu Farida waktu itu yang terlihat menegur pihak fakultas yang lalai tanggal deadline pemberkasan pengajuan keringanan SPP. Akhirnya kacau deh semua urusan di fakultas.
Ketika saya balik lagi ke fakultas sambil membawa memo dari bu Farida tentang SPP saya, petugas yang tadi menghardik saya ketika wawancara malah bersungut-sungut dan menunjuk-nunjuk saya di depan mahasiswa lain.
“Gara-gara kamu tuh lapor ke bu Farida…lihat jadi kacau semua!”, bentaknya
Haaaahhhh??? lho bukannya kalau saya tidak ke tempat bu Farida malah bapak ndak tahu kalau hari ini deadline pemberkasan? Malah lebih parah bukan? Waaahh parah nih…
Saya hanya tersenyum saja menanggapi bentakan itu sambil bergumam, “Hehehe kena batunya tuh”.
Alhamdulillah, kuliah saya lancar dengan IPK yang tidak mengecewakan pula. Dalam hati saya, target berikutnya adalah ke Jepang!
Di UI ada berbagai macam program yang bisa diikuti, dan saya terpilih untuk mengikuti program belajar di Nanzan University, Nagoya selama 1 tahun atas pendanaan Toyota Foundation. Akan tetapi, sayangnya program ini tidak menanggung tiket pulang pergi saya dari Jakarta ke Nagoya.
Ketika saya ceritakan ke orangtua, mereka senang saya bisa ikut program tersebut dan mereka menjanjikan kalau uang mungkin bisa diusahakan. Tetapi, ternyata qadarallah, tepat di minggu-minggu menjelang keberangkatan, uang yang sudah disiapkan oleh orangtua saya terpakai untuk kebutuhan lain. Remuk hati ini…ketika usaha tinggal selangkah lagi ternyata harus tersandung masalah keuangan lagi.
Dalam kesedihan itu, saya coba menenangkan diri…memohon kepada Allah untuk memberikan jalan. Usaha pun tidak kurang-kurangnya…saya edarkan proposal untuk minta bantuan menyokong program belajar saya, akan tetapi hasilnya masih nihil. Hampir putus asa waktu itu.
Dalam kondisi seperti itu, saya masuk ke kelas mata kuliah Pancasila di FS UI. Tidak diduga-duga, ternyata saya bertemu dengan kakak asrama yang hubungannya dengan saya lumayan dekat, namanya Ibrahim dipanggil Ibra (Halo Bra…masih ingat kejadian dulu pas kuliah Pancasila di Sastra?).
“Napa tho Ndik?”, tanyanya dan ini kalimat bukan seperti redaksi aslinya…hehehe
“Gini Bra…” akhirnya saya ceritakan semua permasalahan yang saya hadapi untuk program ini. Akhirnya dia berbisik ke saya,
“Saya kasih nomor telpon, kamu telpon aja bilang masalah mu apa…tulis proposal kasih ke dia. Kalau bisa ketemu langsung yah. Terus kirim proposal ke perusahaan XXX, mereka sangat care sama mahasiswa UI…kan direkturnya ILUNI juga…”, bisiknya sambil menuliskan nomor telpon di secarik kertas.
Tetap dengan kondisi kebingungan, akhirnya malamnya saya telepon nomor tersebut. Ternyata itu adalah nomor telepon sahabat Ibra yang memiliki jaringan di direksi sebuah maskapai penerbangan. Akhirnya dia menyarankan saya untuk datang ke kantor maskapai penerbangan itu dan mengajukan proposal serta mengecek jalannya surat tersebut di dalam perusahaan tsb dengan menanyakan nomor internal surat. Alhamdulillah, hasilnya adalah sebuah lembaran fax yang isinya diskon besar untuk saya. Tapi masalahnya meskipun sudah didiskon, saya tidak punya uang untuk membayar. Akhirnya saya telpon lagi, langsung ke bagian sekretaris direksi dan ngomong,
“Mas, maaf…bukannya saya ndak mau dibantu tapi meski sudah didiskon tetap saja susah buat saya untuk mbayarnya. Gimana enaknya mas?”, keluh saya
“Ooooo lah bilang aja dik dari awal minta free ticket…lha kamu kemarin di proposal kan minta bantuan gitu thok tulisannya…ya dapetnya diskon. Kalau kamu bilang minta tiket, ya dikasih tiket…”
“Oo, bisa ya mas? Terus enaknya saya gimana nih?”
“Gini aja, proposal kamu kemarin diperbaiki, terus fax yang sudah kamu terima dilampirkan kopinya ajukan lagi ke sini. Bilang disitu, minta tiket ya…”
“Ok mas…segera saya kerjakan”
Gembira hati ini mendengar hal itu…Alhamdulillah…akhirnya saya dapatkan tiket PP Jakarta-Nagoya open satu tahun… (^_^)v
tapi bagaimana dengan uang saku? Kehidupan sebulan di Jepang kan harus dipersiapkan dulu karena beasiswa dari Toyota turunnya akhir bulan…akhirnya saya teringat pesa Ibra untuk mengirim proposal ke perusahaan XXX tersebut.
Akhirnya, pagi-pagi saya sudah sampai di bilangan Tebet. Perusahaan besar ini ada di sekitar situ. Tahu donk perusahaan apa itu 🙂 Segera saya naik ke bagian resepsionis direktur dan proposal saya diterima. Tapi hari berganti hari, jawaban tidak kunjung saya terima. Akhirnya saya beranikan diri telpon untuk mencek bagaimana nasib proposal saya, ternyata jawabannya: “Maaf dik, proposal Anda belum bisa didanai”.
Deg…hati saya hancur (jiah lebay). Harapan saya untuk bisa mendapatkan sokongan dana dari perusahaan tersebut pupus. Akhirnya pulang dari wartel (jaman itu masih banyak wartel…) saya melangkah gontai tanpa semangat.
Selang beberapa hari, saya teringat kata-kata Ibra waktu itu, “Itu direkturnya kan alumni FE…”
Wah jangan-jangan beliau ndak lihat di program saya ada belajar ekonominya juga yah. Coba deh saya bold kan bagian itu dan saya bikin menonjol…akhirnya proposal saya perbaiki dan saya ajukan lagi ke perusahaan tersebut. Tapi hasilnya sama…tidak ada jawaban…sedih akhirnya saya memutuskan pulang ke Salatiga untuk memberitahu orangtua kalau besar kemungkinan saya gagal ndak jadi berangkat.
Suatu sore, sebelum kepulangan saya ke Salatiga untuk liburan sejenak itu saya mampir ke majelis taklim seorang ustadz yang hingga kini beliau dan saya, keluarganya dan keluarga saya akrab adanya. Iya, beliau ustadz Arman Amri, Lc. Akhirnya saya curhat banyak ke beliau tentang hal ini dan saya katakan, “Tadz..kayaknya ndak jadi berangkat tadz…uangnya kepake orangtua dan proposal ndak nembus…”
Beliau hanya tersenyum memandang saya yang sedang curhat itu, kemudian berkata dengan lembut,
“Antum minta donk kepada Allah…bukankah Allah Maha Kaya?”
Deg….betul juga …mungkin saya belum melibatkan Allah dalam usaha ini…pikir saya dalam hati.
Sayapun pulang ke Salatiga untuk liburan. Bertemu dengan orangtua, akhirnya saya putuskan untuk tidak jadi berangkat ke Jepang meskipun tiket telah saya kantongi (sebenarnya sih belum ditebus krn untuk nebus harus bayar pajaknya…dan saya ndak ada uang untuk itu)…orangtua pun dengan berat hati mengiyakan.
Yaaah daripada stres karena ndak jadi berangkat, dah jalan-jalan saja ke kota. Akhirnya saya putuskan jalan-jalan ke Jalan Jenderal Sudirman Salatiga. Kebetulan terasa kering tenggorokan ini sedang saya tidak bawa uang sepeserpun. Tapi begitu melihat ATM BNI saya jadi teringat saya masih menyimpan uang 20.000 terakhir di ATM. Aaaahhh siapa tahu bisa diambil untuk beli es (jaman itu masih ada ATM pecahan 10.000 rupiah).
Greeeeekkk…saya buka pintu ATM dan saya masukkkan kartu mahasiswa UI yang juga berfungsi sebagai ATM itu. Lamaaaa sekali proses tidak berjalan akhirnya ATM saya malah tertelan di mesin. Yaaah apes deh..kebetulan ATM tersebut ada di sekitaran komplek Bank BNI Salatiga, akhirnya saya laporkan bahwa ATM saya tertelan. Petugasnya pun segera membongkar dan mengambil ATM saya.
“Dik…ini saya cek dulu yah ATMnya..”
“Iya pak silahkan…”
akhirnya saya ikuti si Bapak ke dalam kantor.
“Wah dik…ini ATMnya error makanya tertelan. Ini cuma bisa diurus di tempat mengeluarkannya, di kampus UI.”
“wah saya harus balik ke sana donk…”
“iya…”
Akhirnya meski liburan masih panjang, saya putuskan untuk berangkat ke Depok HANYA untuk ngurusi ATM. Sebel ndak sih… 😛
Sesampainya di Bank BNI Kampus UI Depok, saya segera datang ke counter pelayanan dan mengadukan masalah ATM saya. Si Mbak petugasnya segera mengecek dan setelah mengetik beberapa saat, si mbak kok saya rasakan pelayanannya berubah? Jadi ramaaah…senyum terus… (beneran lho…)
Tak sengaja saya menangkap isi tulisan di display monitor si mbak yang sedang mengaktifkan lagi ATM saya. Di situ samar-samar (agak jauh soalnya…apalagi mata saya minus…hehe) tertulis: PT. XXX —— Rp. 14.000.000
Deg…saya kaget…itukan nama perusahaan yang saya ajui proposal kemarin. Masak mereka ngirimi saya duit? Merasa tidak percaya, akhirnya saya minta ke mbak petugasnya untuk mencetakkan rekening koran saya. Setelah tercetak, ternyata benar disitu tertulis PT. XXX —-Rp. 14.000.000
Saya masih tidak percaya…jangan-jangan mbak nya ngerjain saya nih…
“Mas…ini ATM nya baru bisa dipakai besok ya…”
“Ok mbak, makasih”
Saya keluar dari Bank BNI dengan kebingungan…setengah percaya setengah ndak…bener yah tadi itu rekening saya?
Akhirnya keesokan hari, pagi-pagi saya ke ATM untuk memastikan apakah jumlah itu benar-benar ada…dengan dag dig dug…saya pencet tombol informas rekening…tertulis kemudian di layar ATM:
SALDO ANDA
Rp. 14.000.000
Subhanallah…mata ini berkaca-kaca melihat jumlah itu…Terima kasih Ya Allah…Engkau telah berikan kenikmatan yang demikian besar untukku….
Akhirnya, saya pun bisa berangkat ke Nagoya dengan tenang. Bahkan saya bisa membagi sedikit kepada orangtua nikmat rejeki tersebut. Dan tambahan lagi, ketika jurusan tahu saya kesulitan dalam masalah keuangan, mereka memberi bantuan pinjaman dana kepada saya yang akhirnya membuat saya tidak kurang suatu apapun untuk berangkat ke Jepang. (kaprogdi jaman saya dulu, bu Lea…masih ingat ndak yah hehehe)
Dan akhirnya…berangkatlah saya ke Nagoya untuk belajar di sana selama satu tahun….selesai? Woooo belum bro….masih panjang lagi ceritanya…
(to be continued)