Dirjo Wiyono

Nama :
Dirjo Wiyono
 
Lahir :
21 Januari 1933
 
Wafat :
Yogyakarta,
15 November 2012
 
Aktifitas Lain :
Pendiri kelompok ketoprak Wahyu Mataram,
Anggota Lembaga Kesenian bentukan Partai Nasional Indonesia,
Pendiri kelompok Ketoprak Agung Budiaji
Pendiri kelompok ketoprak Wahyu Mataram baru
 
Penghargaan :
Bentara Award untuk seniman ketoprak (2012)
Kelompok Wahyu Mataram yang dipimpinnya meraih juara pertama pada festival ketoprak Syawalan DI Yogyakarta
 
 
 


Dirjo Tambur
 
 
 
“Oh, Mbah Dirjo yang jahat itu,” begitu celetukan yang muncul setiap kali si tokoh antagonis ini akan naik panggung. Dan berkat peran antagonislah, ia menjadi sosok yang fenomenal. Sosok fenomenal tersebut tak lain adalah Dirjo Wiyono Tambur, yang biasa disebut Dirjo Tambur. Lahir 21 Januari 1933, mulai mengenal dan menggeluti seni ketoprak pada tahun 1963. Awalnya ia justru sering menjadi tokoh protagonis. Namun, ia kemudian memilih peran antagonis menjadi bagian dari pencitraan diri, bahkan hingga sekarang. Citranya sebagai antagonis itu, ternyata tidak lepas dari tokoh idolanya semasa kecil. Semasa SMP, ia terpesona dengan gaya pemeranan Roekiman dari Ketoprak Krida Mardi yang selalu mengajak orang lain untuk berbuat buruk dan menipu.
 
Di masa Orde Baru ketoprak sempat meredup karena banyak seniman takut dianggap sebagai pengikut gerakan Marhaenis, suatu gerakan yang dilarang pada masa itu. Ia melihat kesenian yang mulai redup ini bisa mati jika tak dibangkitkan kembali. Karena keinginan menghidupkan kembali ketoprak di Yogyakarta, ia membentuk kelompok ketoprak Wahyu Mataram bersama sejumlah seniman pada tahun 1971. Ia juga sempat bergabung dengan Lembaga Kesenian Nasional bentukan Partai Nasional Indonesia. Selain itu, ia juga mendatangi Raden Pustoko Kusumoatmojo, seorang bangsawan terpandang di wilayahnya pada masa itu, untuk mendapat jaminan perlindungan dalam kegiatan ketopraknya. Gayung bersambut, Pustoko kemudian merestui keinginan itu sehingga gerakan latihan ketoprak di kampung-kampung mulai berjalan. Gerakan ini langsung membuat namanya melejit karena ternyata banyak yang menyukai ketoprak. Permintaan manggung dari kampung satu ke kampung lain, atau bahkan ke kota lain, selalu muncul.
 
Pentas ketoprak perdananya di TVRI tahun 1987 menjadi puncak perhatian masyarakat karena di saat itulah rasa benci masyarakat padanya mencapai klimaks. Dalam pentas itu, ia memerkosa perempuan usia 30-an, dalam lakon Warih Kusumo. Kisah berlanjut ketika tokoh yang di perankannya ingin menikahi anak itu karena melihat parasnya yang menarik, tetapi ibunya tidak terima dan marah-marah. Melihat itu, ia naik pitam, lalu memukuli perempuan itu. Tiba-tiba, tanpa sengaja tangannya menyenggol lampu semprit sehingga rumah perempuan itu terbakar. Keesokan harinya hampir semua media massa di wilayah DI Yogyakarta dan Jawa Tengah memberitakan kontroversi mengenai dirinya, karena berlaku sangat kejam. Padahal, pada hari yang sama masyarakat tengah memperingati Hari Ibu. Banyak yang mencercanya, tetapi sebagian lainnya justru mengagumi peran yang dilakoninya dan menganggapnya seperti sebuah penemuan baru dalam berseni.
 
Seiring berjalannya waktu, kelompok ketoprak Wahyu Mataram mulai tenggelam seiring banyak personelnya yang semakin tua dan satu per satu tutup usia. Bahkan, setelah Parjiono, pengurus kelompok ini, meninggal, nama Wahyu Mataram menghilang. Ia akhirnya mengambil jalur tunggal dalam bermain ketoprak. Waktu luang dipakainya untuk melatih seniman-seniman muda. Hampir setiap hari rumahnya kebanjiran anak-anak muda yang ingin belajar ketoprak.
 
Sedikit demi sedikit kejayaan grup ketoprak yang di tanganinya, yang di beri nama Agung Budiaji mulai bangkit kembali dan mengalami masa-masa keemasan pada tahun 1984-1995. Kala itu, selain main bersama grupnya sendiri, Agung Budiaji, ia juga laris dicomot grup-grup lain. Pada masa itu, lima bulan sebelum pentas, jadwalnya sudah terisi, tanpa ada sela. Bahkan, orang-orang yang ingin nanggap kadang harus mengalah menyesuaikan dengan jadwalnya. Kelompoknya sendiri pun yang bermain dengan konsep tobongan, juga sangat laris dan banyak diminati. Dalam semalam, bahkan pernah diminta pentas di tiga tempat berbeda. Akhirnya karena hanya beranggota 20 orang, Agung Budiaji pun juga mencomot pemain dari grup lain. Masalah bayaran, ia pun pernah mendapatkan upah yang lebih dari cukup.
 
Di tahun 1998 ia merintis dan membina kelompok ketoprak baru, yang beranggotakan tukang-tukang becak se-Yogyakarta, yang juga diberi nama Wahyu Mataram. Awal mula berdirinya ketoprak Wahyu Mataram versi tukang becak ini sendiri takala ia yang sehari-hari membantu istrinya berjualan gudeg di Jalan Kusumanegara, prihatin melihat tukang becak yang suka ugal-ugalan. Berangkat dari pemikiran untuk memberi kegiatan di sela-sela menarik becak, ia lantas berupaya mengumpulkan mereka.
 
Mulailah peraih Bentara Award untuk seniman ketoprak 2012 ini mendekati para tukang becak. Secara terus-terang ia mengajak mereka berlatih ketoprak. Gayung bersambut, ternyata banyak yang menanggapi positif dan akhirnya ada sekitar 60 orang yang lantas bergabung. Seminggu sekali mereka berlatih ketoprak di rumahnya, Janturan, Umbulharjo, Yogyakarta. Semua peran diajarkan satu per satu, mulai dari yang harus memerani tokoh pahlawan sampai antagonis. Ia melatih secara cuma-cuma, tak ada pungutan biaya. Bahkan, kadang dia rela untuk menyediakan makanan ringan.
 
Tak perlu waktu lama mengajari tukang becak berakting, tidak lebih dari setahun. Dari semula bermain untuk diri sendiri, lambat laun kelompok tersebut mulai terkenal dan manggung sampai ke Jawa Tengah. Tercatat kelompok Wahyu Mataram pernah tampil dalam pentas di Pakualaman, pesta rakyat di Purawisata, sekaten di Alun-alun Yogyakarta, dan puluhan pentas tobong di desa-desa. Bahkan pada Festival Ketoprak Syawalan DI Yogyakarta, kelompok  ini meraih juara pertama.
 
Menikah dengan Sri Supadmi ini, dari hasil bermain ketoprak, ia bisa menyekolahkan ketiga anaknya hingga lulus sarjana, dan membuatkan rumah untuk mereka. Bahkan ia bisa membiayai ketiga anak adiknya. Pada Kamis, 15 November 2012, petang, seniman ketoprak ini wafat dalam usia 80 tahun, setelah beberapa hari dirawat di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Jenazah dikebumikan keesokan harinya di Pemakaman Umum Kampung Janturan 
 
(Dari Berbagai Sumber)

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *